slamet dateng di blog ane .. arifoktafian's blog,,

Download

Selasa, 27 November 2012

On 18.58 by rief_blogspot   No comments

TEORI BELAJAR GAGNE

A. PENDAHULUAN
Pengertian dan Pentingnya Pemahaman Terhadap Teori Belajar
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 1 dinyatakan bahwa teori pembelajaran adalah suatu interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Ketentuan ini membawa implikasi bahwa terjadinya proses pembelajaran berbasis pada aneka sumber yang memungkinkan terciptanya suatu situasi pembelajaran yang “hidup” dan menarik. Selanjutnya didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa, proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
 Ketentuan yang tercantum di dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut adalah sebuah kemajuan atau lompatan yang jauh terhadap konsep proses pembelajaran. Selama ini sebelum konsep pembelajaran yang hakiki seperti rumusan di atas dikumandangkan bahkan diundangkan, dunia pendidikan (sekolah) masih mengenal konsep teaching (pengajaran). Konsep pengajaran terlalu teacher oriented (berorientasi ke guru), guru satu-satunya sumber informasi, komunikasi berjalan satu arah dari guru ke siswa. Sedangkan konsep pembelajaran dalam prateknya kebalikan dari konsep pengajaran.
Berbicara mengenai teori pembelajaran tentu pula harus dibicarakan mengenai teori belajar. Bruner dalam Degeng (1989) mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah preskriptif, sedangkan teori belajar adalah deskriptif. Preskriptif artinya, tujuan teori pembelajaran adalah menetapkan metode/strategi pembelajaran yang cocok supaya memperoleh hasil optimal. Teori pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Dengan kata lain, teori pembelajaran berurusan dengan upaya mengontrol variasi, sedangkan deskriptif artinya, tujuan teori belajar adalah menjelaskan proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada bagaimana seseorang belajar. Dengan demikian variabel kondisi pembelajaran dan variabel metode pembelajaran yang dikemukakan oleh Reigeluth dan Merril dalam dengeng Brunner sebagai givens, dan hasil pembelajaran sebagai variabel yang diamati. Menurut Asri Budiningsih (2005), kondisi dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel terikat. Untuk memudahkan pemahaman konsep di atas, perhatikan contoh berikut ini.
Teori pembelajaran (perskriptif): Agar siswa mampu memainkan perannya dalam drama (hasil) dengan baik, organisasilah isi/materi pembelajaran (kondisi) dengan menggunakan model bermain peran atau role playing (metode/strategi).
Teori belajar (deskriptif): Bila isi/materi pembelajaran (kondisi) di organisasi dengan menggunakan model bermain peran atau role playing (metode/strategi), maka dipastikan siswa mampu memainkan perannya dalam drama (hasil) dengan baik
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran secara umum merupakan suatu proses yang menyatukan kognitif, emosional, lingkungan dan pengalaman untuk memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pandangan dunia.

Pembagian Aliran Teori Belajar
Ada tiga kategori utama atau kerangka filosofis mengenai belajar, yaitu: behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme . Behaviorisme hanya berfokus pada aspek objektif yang diamati pembelajaran.Teori kognitif melihat perilaku untuk menjelaskan pembelajaran berbasis otak, dan pandangan konstruktivisme memandang belajar sebagai sebuah proses di mana pelajar aktif membangun atau membangun ide-ide baru atau konsep.


Behaviorisme, sebagai teori belajar, dapat ditelusuri kembali ke Aristoteles, “Memory” yang berfokus pada asosiasi yang dibuat antara acara-acara seperti petir dan guntur. filsuf lain yang mengikuti pikiran Aristoteles adalah Hobbs (1650), Hume (1740), Brown (1820), Bain (1855) dan Ebbinghause (1885) (Black, 1995). Teori belajar behaviorisme berkonsentrasi pada studi tentang perilaku terbuka yang dapat diamati dan diukur (Good & Brophy, 1990).  Pandangan pikiran ini melihat “kotak hitam” yang respon terhadap stimulus dapat diamati secara kuantitatif, sama sekali mengabaikan kemungkinan proses pemikiran yang terjadi dalam pikiran. Beberapa pemain kunci dalam perkembangan teori behavioris adalah Pavlov, Watson, Thorndike dan Skinner.
2. Teori  Belajar kognitivisme
Pada awal tahun 1920-an orang mulai menemukan keterbatasan pemahaman dalam teori belajar behavioris untuk belajar memahami, ditemukan. Edward Tolman bahwa tikus yang digunakan dalam percobaan tampaknya memiliki peta mental dari labirin ia gunakan. Ketika ia menutup sebagian tertentu dari labirin, tikus tidak repot-repot untuk mencoba jalur tertentu karena mereka “tahu” bahwa hal itu mengarah ke jalan yang diblokir. Secara visual, tikus tidak bisa melihat bahwa jalan akan menghasilkan kegagalan, namun mereka memilih untuk mengambil rute yang lebih panjang yang mereka tahu akan berhasil (Operan penyejuk).
Behavioris tidak dapat menjelaskan perilaku sosial tertentu. Misalnya, anak-anak tidak meniru semua perilaku yang telah diperkuat. Selanjutnya, mereka mungkin model hari perilaku baru atau minggu setelah pengamatan pertama awal mereka tanpa diperkuat untuk perilaku tersebut. Karena pengamatan ini, Bandura dan Walters berangkat dari pengkondisian operan penjelasan tradisional bahwa anak harus melakukan dan menerima penguatan sebelum bisa belajar. Mereka menyatakan dalam buku mereka tahun 1963, Sosial Belajar dan Pengembangan Kepribadian, bahwa seseorang bisa model perilaku dengan mengamati perilaku orang lain. Teori ini menyebabkan Kognitif Sosial Bandura Teori (Dembo, 1994).

3. Teori Belajar Konstruktivisme
Bartlett (1932) merintis apa yang menjadi pendekatan konstruktivis (Good & Brophy, 1990). Konstruktivis percaya bahwa “peserta didik membangun kenyataan mereka sendiri atau paling tidak menafsirkannya berdasarkan persepsi mereka tentang pengalaman, sehingga pengetahuan individu adalah fungsi dari pengalaman sebelumnya satu, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menafsirkan objek dan peristiwa.” “Apakah seseorang mengetahui didasarkan pada persepsi pengalaman fisik dan sosial yang dipahami oleh pikiran.” (Jonasson, 1991).
Jika salah satu pencarian melalui teori-teori filosofis dan psikologis banyak dari masa lalu, benang konstruktivisme dapat ditemukan dalam penulisan orang-orang seperti Bruner, Ulrick, Neiser, Goodman, Kant, Kuhn, Kwek dan Habermas. Pengaruh paling besar dalam benang konstruvisne adalah Jean Piaget yang pekerjaannya diinterpretasikan dan diperpanjang oleh von Glasserfield (Smorgansbord, 1997).

Tujuan Penulisan Makalah
            Dalam penulisan makalah ini, ada beberapa tujuan yang ini dicapai dari kelompok penulis, yaitu untuk mengetahui:
1.Pengertian dan pentingnya teori belajar;
2.Pembagian aliran-aliran teori belajar; dan
3.Pengertian, karakteristik dan penerapan teori belajar Gagne dalam    pembelajaran matematika di sekolah melalui model pembelajaran TPS.



B. TEORI BELAJAR GAGNE
1. Pengertian
            Gagne mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan hanya disebabkan oleh pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatannya mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari sebelum ia mengalami situasi dengan setelah mengalami situasi tadi. Belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor dari luar diri, dimana keduanya saling berinteraksi.
            Komponen-komponen dalam proses belajar menurut Gagne dapat digambarkan sebagai S - R. S adalah situasi yang memberi stimulus, R adalah respons atas stimulus itu, dan garis di antaranya adalah hubungan di antara stimulus dan respon yang terjadi dalam diri seseorang yang tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan sistem alat saraf di mana terjadi transformasi perangsang yang diterima melalui alat dria. Stimulus ini merupakan input yang berada di luar individu dan respon adalah outputnya, yang juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati.
2. Latar Belakang
            Berbicara mengenai teori belajar dan mengajar matematika berarti berbicara mengenai ”bagaimana” dan ”kepada siapa” suatu topik matematika diajarkan. Belajar dan mengajar merupakan dua kata yang berbeda, tetapi dalam pelaksanaaannya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika pada masa dulu konsep mengajar berarti guru menyampaikan semua pengetahuan matematika yang diketahuinya kepada siswa, tapi pada masa kini mengajar lebih diupayakan pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan guru sehingga siswa dapat belajar. Siswa menjadi fokus proses pembelajaran (students centered).
Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada teori psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang populer dibicarakan oleh para pakar pendidikan (Suherman, 29). Secara umum teori psikologi pembelajaran tersebut dapat dibagi atas dua aliran besar, yaitu:
a. Aliran psikologi tingkah laku
            Thorndike (law of effect), Skinner (teori ganjaran atau penguatan), Ausubel (teori belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai), Gagne (objek matematika), Pavlov (teori belajar klasik), Baruda (siswa belajar itu meniru), dan aliran latihan mental (struktur otak manusia terdiri atas gumpalan-gumpalan otot yang harus dilatih).
b. Aliran psikologi kognitif
            Tokoh teori belajar mengajar yang menganut aliran ini adalah: Piaget (teori perkembangan mental; skemata, asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrium), Bruner (teori belajar konsep dan struktur matematika), John Dewey (teori Gestalt), Brownell (belajar bermakna dan pengertian), Dienes (matematika adalah studi tentang struktur), Van Hiele (teori perkembangan mental anak dalam geometri).
Kedua aliran teori psikologi pembelajaran di atas sejak keberadaannya sampai sekarang tetap menjadi acuan setiap pakar pendidikan untuk dikaji lebih jauh. Pengkajian juga dilakukan oleh para ahli pendidikan matematika dengan tujuan untuk meningkatkan berbagai kemampuan matematika siswa. Sehubungan dengan tugas mata kuliah ini, maka pada tulisan ini hanya akan dibahas teori belajar mengajar matematika yang dikemukakan oleh Gagne. Pembahasan teori ini dimulai dengan mengemukakan biografi singkat tentang Gagne, teori belajar mengajar matematika yang dikemukakannya, dan aplikasi teori Gagne dalam pembelajaran matematika di sekolah.
3. Biografi Gagne
Robert Mills Gagne adalah seorang ilmuwan psikologi yang lahir pada tahun 1916 di North Andover, MA. dan meninggal pada tahun 2002. Pada tahun 1937 Gagne memperoleh gelar A.B. dari Yale dan pada tahun 1940 memperoleh gelar Ph.D. pada bidang psikologi dari Brown University. Gelar profesor diperolehnya ketika mengajar di Connecticut College for Women dari 1940–1949. Demikian juga ketika di Penn State University dari tahun 1945-1946, dan terakhir diperolehnya dari Florida State University. Antara tahun 1949-1958, Gagne menjadi Direktur Perceptual and Motor Skills Laboratory US Air Force. Pada waktu inilah dia mulai mengembangkan teori “Conditions of Learning” yang mengarah pada hubungan tujuan pembelajaran dan kesesuaiannya dengan desain pengajaran.
Teori ini dipublikasikan pada tahun 1965 (Anonim, 1; Gagne, 1).
Gagne merupakan seorang tokoh psikologi yang mengembangkan teori belajar dan pengajaran. Walaupun pada awal karirnya, dia adalah seorang behaviorist, namun belakangan dia memusatkan perhatian pada pengaruh pemrosesan informasi terhadap belajar dan memori (Anonim, 1). Dia juga dikenal sebagai seorang psikolog eksperimental yang berkonsentrasi pada belajar dan pengajaran.
Kontribusi besar Gagne dalam pengembangan pengajaran adalah tulisan-tulisannya tentang: Instructional Systems Design, The Condition of Learning (1965), dan Principles of Instructional Design (Gagne). Ketiga karyanya tersebut telah mendominasi bagaimana melaksanakan pengajaran untuk berbagai topik pelajaran di sekolah. Karyanya tentang The condition of Learning, merupakan tulisan yang dibuatnya ketika melaksanakan latihan militer di Angkatan Udara Amerika.
4. Konsep Belajar Gagne
            Ada beberapa hal yang melandasi pandangan Gagne tentang belajar. menurutnya belajar bukan merupakan proses tunggal melainkan proses luas yang dibentuk oleh pertumbuhan dan perkembangan tingkah laku, dimana tingkah laku itu merupakan proses kumulatif dari belajar. Artinya banyak keterampilan yang dipelajari memberikan sumbangan bagi belajar keterampilan yang lebih rumit.
Dalam Ade Rusliana (2007), Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah mekanisme dimana seseorang menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi skill, pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome. Menurut Gagne belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil dari efek belajar yang kumulatif (Gagne, 1968). Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat kompleks.
Hasil belajar merupakan kapabilitas. Setelah belajar, orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut berasal dari (1) stimulasi yang berasal dari lingkungan; dan (2) proses kognitif yang dilakukan siswa. Dengan demikian, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi menjadi kapabilitas baru. Juga dikemukakan bahwa belajar merupakan faktor yang luas yang dibentuk oleh pertumbuhan, perkembangan tingkah laku merupakan hasil dari aspek kumulatif belajar. Berdasarkan pandangan ini Gagne mendefinisikan pengertian belajar secara formal bahwa belajar adalah perubahan dalam disposisi atau kapabilitas manusia yang berlangsung selama satu masa waktu dan tidak semata-mata disebabkan oleh proses pertumbuhan.
 Perubahan itu berbentuk perubahan tingkah laku. Hal itu dapat diketahui dengan jalan membandingkan tingkah laku sebelum belajar dan tingkah laku yang diperoleh setelah belajar. Perubahan tingkah laku dapat berbentuk perubahan kapabilitas jenis kerja atau perubahan sikap, minat atau nilai. Perubahan itu harus dapat bertahan selama periode waktu dan dapat dibedakan dengan perubahan karena pertumbuhan, missal perubahan tinggi badan atau perkembangan otot dan lain-lain (Margaret G. Bell dalam Panen, Paulina dkk, 1999) sebagai hasil belajar yang dapat diamati.


5. Fase-fase Belajar Menurut Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Gagne membagi proses belajar berlangsung dalam empat fase utama, sebagai berikut:
a.          Fase pengenalan (apprehending phase). Pada fase ini siswa memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. ini berarti bahwa belajar adalah suatu proses yang unik pada tiap siswa, dan sebagai akibatnya setiap siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya karena cara yang unik yang dia terima pada situasi belajar.
b.       Fase perolehan (acqusition phase). Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan baru  dengan menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumya. Dengan kata lain pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.
c.        Fase penyimpanan (storage phase). Fase storage/retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.
d.       Fase pemanggilan (retrieval phase). Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil.
6. Tipe-tipe Belajar Gagne
Robert M. Gagne membedakan pola-pola belajar siswa ke delapan tipe belajar, dengan tipe belajar yang rendah merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya. Hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
a.   Belajar Isyarat (Signal Learning)
Signal learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat tidak disengaja dan tidak disadari tujuannya. Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan buat berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak, stimulus-stimulus tertentu secara berulang kali. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional, selainnya timbulnya dengan tak sengaja dan tidak dapat dikuasai. Beberapa ucapan kasar untuk mempermalukan, siswa yang gelisah pada saat pelajaran matematika mungkin karena kondisi tidak suka matematika pada orang itu. Belajar isyarat sukar dikontrol oleh siswa dan dapat mempunyai pengalaman yang pantas dipertimbangkan pada tindakannya. konsekuensinya, seorang guru matematika, seharusnya mencoba membangkitkan stimulus yang tidak dikondisikan yang akan menimbulkan perasaan senang pada siswa dan berharap mereka akan mengasosiasikan beberapa perasaan senang dengan isyarat netral pada pelajaran matematika. Apabila perlakuan yang disenangi membangkitkan hal-hal positif, stimulus yang tidak diharapkan mungkin gagal menimbulkan asosiasi keinginan positif dengan isyarat netral, kecerobohan menimbulkan stimulus negatif, pada satu waktu akan merusak keinginan siswa untuk mempelajari pelajaran yang diajarkan.
b.   Belajar Stimulus-Respons (Stimulus-Respon Learning)
Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor penguatan (reinforcement). Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat penguatannya. Kemampuan tidak diperoleh dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respon dapat diatur dan dikuasai. Respon bersifat spesifik, tidak umum, dan kabur. Respon diperkuat dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respon itu.
c.    Rantai atau Rangkaian hal (Chaining)
Tipe belajar ini masih mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan motorik. Chaining ini terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi, jadi berdasarkan ”contiguity”. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe balajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforcement tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.
Kebanyakan aktivitas dalam matematika memerlukan manipulasi dari peralatan fisik seperti mistar, jangka, dan model geometri membutuhkan chaining. Belajar membuat garis bagi suatu sudut dengan menggunakan jangka membutuhkan penerapan keterampilan tipe stimulus respn yang telah dipelajari sebelumnya. Diantaranya kemampuan menggunakan jangka untuk menarik busur dan membuat garis lurus antara dua titik. Ada dua karakteristik dari belajar stimulus respon dan belajar rangkaian dalam pengajaran Matematika yaitu siswa tidak dapat menyempurnakan rangkaian stimulus respon apabila tidak menguasai salah satu keterampilan dari rangkaian tersebut, dan belajar stimulus respon dan rangkaian diafasilitasi dengan cara memberikan penguatan bagi tingkah laku yang diinginkan. Meskipun memberi hukuman dapat digunakan untuk meningkatkan belajar stimulus respon, tetapi hal tersebut dapat berakibat negatif  terhadap emosi, sikap, dan motivasi belajar.
d.   Asosiasi Verbal (Verbal Association)
Asosiasi verbal adalah rangkaian dari stimulus verbal yang merupakan hubungan dari dua atau lebih tindakan stimulus respon verbal yang telah dipelajari sebelumnya. Tipe paling sederhana dari belajar rangkaian verbal adalah asosiasi antara suatu objek dengan namanya yang melibatkan belajar rangkaian stimulus respon dari tampilan objek dengan karakteristiknya dan stimulus respon dari pengamatan terhadap suatu objek dan memberikan tanggapan dengan menyebutkan namanya. Asosiasi verbal melibatkan proses mental yang sangat kompleks. Asosiasi verbal yang memerlukan penggunaan rangkaian mental intervening yang berupa kode dalam bentuk verbal, auditory atau gambar visual. Kode ini biasanya terdapat dalam pikiran siswa dan bervariasi pada tiap siswa dan mengacu kepada penyimpanan kode-kode mental yang unik. Contoh seseorang mungkin menggunakan kode mental verbal ”y ditentukan oleh x” sebagai petunjuk kata fungsi, orang lain mungkin memberi kode fungsi dengan menggunakan simbol ”y=f(x)” dan orang yang lain lagi mungkin menggunakan visualisasi diagram panah dari dua himpunan.
e.       Belajar Diskriminasi (Discrimination Learning)
Discrimination learning atau belajar menmbedakan sejumlah rangkaian, mengenal objek secara konseptual dan secara fisik. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua peransang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respon yang dianggap sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R). Contohnya: anak dapat membedakan manusia yang satu dengan yang lain; juga tanaman, binatang, dan lain-lain. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak-anak. Terdapat dua macam diskriminasi yaitu diskriminasi tunggal dan diskriminasi ganda. Contoh mengenalkan angka 2 pada anak dengan memperlihatkan 50 angka 2 pada kertas dan menggambar angka 2. Melalui stimulus respon sederhana anak belajar mengenal (nama ”dua” untuk konsep dua). Sedangkan untuk diskriminasi ganda anak belajar mengenal angka 0, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan membedakan angka-angka tersebut.
f. Belajar konsep (Concept Learning)
Belajar konsep adalah mengetahui sifat-sifat umum benda konkrit atau kejadian dan mengelompokan objek-objek atau kejadian-kejadian dalam satu kelompok. Dalam hal ini belajar konsep adalah lawan dari belajar dari diskriminasi. Belajar diskriminasi menuntut siswa untuk membedakan objek-objek karena dalam karakteristik yang berbeda sedangkan belajar konsep mengelompokkan objek-objek karena dalam karakteristik umum dan pembahasan kepada sifat-sifat umum. Dalam belajar konsep, tipe-tipe sederhana belajar dari prasyarat harus dilibatkan. Penambahan beberapa konsep yang spesifik harus diikutkan dengan prasyarat rangkaian stimulus respon, asosiasi verbal yag cocok, dan diskriminasi dari karakteristik yang berbeda .
Sebagai contoh, tahap pertama belajar konsep lingkaran mungkin belajar mengucapkan kata lingkaran sebagai suatu membangkitkan sendiri hubungan stimulus respon, sehingga siswa dapat mengulangi kata. Kemudian siswa belajar untuk mengenali beberapa objek berbeda sebagai lingkaran melalui belajar asosiasi verbal individu. Selanjutnya siswa mungkin belajar membedakan antara lingkaran dan objek lingkaran lain seperti dan lingkaran. Hal tersebut penting bagi siswa untuk menyatakan lingkaran dalam variasi yang luas. Situasi representatif sehingga mereka belajar untuk mengenal lingkaran. Ketika siswa secara spontan mengidentifikasi lingkaran dalam konteks yang lain, mereka telah memahami konsep lingkaran. Kemampuan membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang baru merupakan Kemampuan yang membedakan belajar konsep dengan bentuk belajar lain. Ketika siswa telah mempelajari suatu konsep, siswa tidak membutuhkan waktu lama untuk mengidentifikasi dan memberikan respon terhadap hal baru dari suatu konsep, sebagai akibatnya cara untuk menunjukkan bahwa suatu konsep telah dipelajari adalah siswa dapat membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang lain.
g.   Belajar Aturan (Rule Learning)
Belajar aturan (Rule learning) adalah kemampuan untuk merespon sejumlah situasi (stimulus) dengan beberapa tindakan (Respon).  Kebanyakan belajar matematika adalah belajar aturan. sebagai contoh, kita ketahui bahwa 5 Ò²  6 = 6 Ò² 5 dan bahwa 2 Ò² 8 = 8 Ò² 2; akan tetapi tanpa mengetahui bahwa aturannya dapat dinyatakan dengan a Ò² b = b Ò² a. Kebanyakan orang pertama belajar dan menggunakan aturan bahwa perkalian komutatif adalah tanpa dapat  menyatakan itu, dan biasanya tidak menyadari bahwa mereka tahu dan menerapkan aturan tersebut. Untuk membahas aturan ini, harus diberikan verbal(dengan kata-kata) atau    rumus seperti “ urutan dalam perkalian tidak memberikan jawaban yang berbeda” atau “untuk setiap bilangan a dan b, a Ò² b = b Ò² a. Aturan terdiri dari sekumpulan konsep. Aturan mungkin mempunyai tipe berbeda dan tingkat kesulitan yang berbeda. Beberapa aturan adalah definisi dan mungkin dianggap sebagai konsep.  Konsep terdefinisi n! = n (n – 1) (n -2). . . (2)(1) adalah aturan yang menjelaskan  bagaimana mengerjakan n. Aturan-aturan  lain adalah rangkaian  yang terhubung, seperti aturan bahwa keberadaan sejumlah operasi aritmetika seharusnya dikerjakan dengan urutan Ò², :, +, – . Jika siswa sedang belajar aturan mereka harus mempelajari sebelumnya rangkaian konsep yang menyusun aturan tersebut. Kondisi-kondisi belajar aturan mulai  dengan merinci perilaku yang diinginkan  pada siswa. seorang siswa telah belajar aturan apabila dapat menerapkan aturan itu dengan tepat pada beberapa situasi yang berbeda. Robert Gagne memberikan 5 tahap dalam  mengajarkan aturan sebagai berikut:
Tahap 1: menginformasikan pada siswa tentang bentuk perilaku yang diharapkan ketika belajar.
Tahap 2: bertanya ke siswa dengan cara menyusun konsep dari konsep sebelumnya.
Tahap 3: menggunakan pernyataan verbal (petunjuk) yang akan mengarahkan siswa menyatakan aturan sebagai rangkaian konsep dalam urutan yang tepat.
Tahap 4: dengan bantuan pertanya, siswa diminta untuk “mendemonstrasikan” satu contoh nyata dari aturan.
Tahap 5 (bersifat pilihan, tetapi berguna untuk pengajaran selanjutnya): dengan pertanyaan yang tepat, meminta siswa untuk membuat pernyataan verbal dari aturan.
h.      Pemecahan Masalah (Problem solving)
Tipe belajar ini menurut Gagne merupakan tipe belajar yang paling kompleks, karena di dalamnya terkait tipe-tipe belajar yang lain, terutama penggunaan aturan-aturan yang disertai proses analisis dan penarikan kesimpulan. Pada tingkat ini siswa belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respon terhadap ransangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik. Tipe belajar ini memerlukan proses penalaran yang kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, tetapi dengan tipe belajar ini kemampuan penalaran siswa dapat berkembang. Dengan demikian poses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung apabila proses belajar fundamental lainnya telah dimiliki dan dikuasai. Kriteria suatu pemecahan masalah adalah siswa belum pernah sebelumnya menyelesaikan masalah khusus tersebut,walaupun mungkin telah dipecahkan sebelumnya oleh banyak orang. sebagai contoh  pemecahan masalah, siswa yang belum pernah sebelumnya belajar rumus kuadrat, menurunkan rumusnya untuk menentukan penyelesaian umum persamaan ax2 + bx + c = 0. Siswa akan memilih keterampilan melengkapkan kuadrat tiga suku dan menerapkan keterampilan dalam cara yang tepat untuk menurunkan rumus kuadrat, dengan melaksanakan petunjuk dari guru. Pemecahan masalah biasanya melibatkan lima tahap : (1). Menyatakan masalah dalam bentuk umum, (2). Menyatakan kembali masalah dalam suatu defenisi operasional, (3). Merumuskan hipotesis alternatif dan prosedur yang mungkin tepat untuk memecahkan masalah, (4). Menguji hipotesis dan melaksanakan prosedur untuk memperoleh solusi dan (5). Menentukan solusi yang tepat.
7.  Teori Belajar Mengajar Matematika Gagne
Gagne mengidentifikasi lima kategori belajar, yaitu: informasi verbal (verbal information), keterampilan intelektual (intellectual skills), strategi kognitif (cognitive strategies), sikap (attitudes), dan keterampilan motorik (motor skills) (Gagne, 1-4). Informasi verbal yang dimaksudkan adalah menguraikan materi yang telah dipelajari sebelumnya seperti fakta, konsep, prinsip, dan prosedur. Keterampilan intelektual yang dimaksudkan adalah diskriminasi, konsep konkrit, konsep terdefinisi, aturan-aturan, dan aturan-aturan yang lebih tinggi. Diskriminasi, misalnya membedakan objek, ciri-ciri, atau simbol. Konsep konkrit, misalnya mengidentifikasi kelas-kelas objek konkrit, ciri-ciri, atau kejadian. Konsep terdefinisi misalnya mengklasifikasi contoh kejadian baru atau ide dengan definisi siswa. Aturan-aturan misalnya menerapkan suatu hubungan tunggal untuk menyelesaikan suatu kelompok masalah. Aturan-aturan tingkat tinggi misalnya menerapkan kombinasi beberapa aturan untuk menyelesaikan suatu masalah yang kompleks. Strategi kognitif dimaksudkan adalah memanfaatkan cara sendiri sebagai pedoman untuk belajar, berpikir, bertindak, dan merasakan. Sikap digunakan untuk menentukan tindakan pribadi berdasarkan pada pengetahuan internal yang dipahami dan dirasakan. Keterampilan motorik yaitu melakukan pekerjaan disertai penggunaan otot (Gagne, 1-2).
Sehubungan dengan belajar matematika, Gagne menyatakan bahwa dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh siswa, yaitu objek langsung dan objek tak langsung (Suherman, 2001: 35). Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ruseffendi (2006:165) yang menyatakan bahwa dalam belajar matematika ada 2 objek yang dapat diperoleh siswa, objek langsung dan objek tidak langsung. Obyek langsung adalah objek matematika yang dapat langsung diberikan kepada siswa seperti fakta, keterampilan, konsep dan aturan. Sedang obyek tak langsung adalah obyek yang terjadi sebagai akibat pemberian objek langsung seperti terjadinya transfer belajar, kemampuan inquiry dan problem solving, belajar mandiri (disiplin diri), bersikap positif terhadap matematika dan tahu bagaimana semestinya belajar. Kedua objek matematika ini dapat diperoleh siswa setiap pelaksanaan pembelajaran guru ataupun ketika siswa belajar sendiri suatu materi matematika.
Lambang bilangan, sudut, dan berbagai notasi matematika merupakan contoh fakta, yaitu objek matematika yang tinggal menerimanya. Keterampilan adalah kemampuan untuk memberikan jawaban secara cepat dan tepat, misalnya membagi bilangan dengan teknik bagi kurung, menjumlahkan pecahan, melukis dua ruas garis dan menentukan titik potongnya. Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek ke dalam contoh dan bukan contoh, misalnya, konsep persegi panjang, bilangan komposit, himpunan, dan jarak. Objek yang paling abstrak seperti sifat atau teorema disebut aturan.
Menurut Gagne, belajar dapat dikelompokkan ke dalam 8 tipe belajar, yaitu belajar isyarat, stimulus respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan, dan pemecahan masalah (Suherman, 2001: 36; Ruseffendi, 2006: 165).
Kedelapan tipe belajar itu terurut menurut tingkat kesukarannya dari yang mudah ke yang paling sulit. Jadi belajar dengan pemecahan masalah adalah tipe belajar yang paling sulit. Belajar yang tingkatnya paling rendah, karena tidak ada niat atau rencana dan terjadi secara spontan adalah belajar isyarat. Misalnya menyenangi atau menghindari pelajaran akibat perilaku guru. Jika belajar tersebut ada niat dari dalam hati dan direspons oleh jasmani maka disebut stimulus-respons. Misalnya ketika guru menulis di papan tulis, siswa mencatat. Rangkaian gerak adalah perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka stimulus-respons. Rangkaian verbal adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka stimulus-respons. Misalnya mengemukakan pendapat, menjawab pertanyaan guru atau siswa lainnya secara lisan. Belajar membedakan adalah belajar memisah-misahkan rangkaian yang bervariasi. Pembentukan konsep disebut juga tipe belajar pengelompokan, yaitu belajar melihat sifat bersama benda-benda konkrit atau peristiwa untuk dijadikan suatu kelompok. Pada tipe belajar pembentukan aturan, siswa diharapkan mampu memberi respon terhadap stimulus dengan segala macam perbuatan utamanya kemampuan untuk menggunakan aturan tersebut. Misalnya pemahaman terhadap rumus kuadratis digunakan untuk menyelesaikan persamaan kuadrat. Tipe belajar pemecahan masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi derajatnya dan lebih kompleks daripada pembentukan aturan (Ruseffendi, 2006: 169; Suherman, 2001: 36).



C. PENUTUP (KESIMPULAN)
              Berdasarkan uraian materi diatas maka dapat ditarik kesimpulan:
a.       Pengertian teori belajar secara umum adalah suatu proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan dan pengalaman untuk memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan pengetahuan satu, keterampilan, nilai, dan pandangan dunia.
b.      Aliran pembelajaran secara umum dapat dibagi tiga yaitu;
i.                                                         Teori belajar behaviorisme
         ii.         Teori belajar kognitivisme
       iii.         Teori belajar kontruvisme
c.       Belajar menurut Gagne adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan hanya disebabkan oleh pertumbuhan saja.



MAKALAH
TEORI BELAJAR GAGNE









OLEH
 KELOMPOK IV
       Silfia (A1C1 09 007)
                                 Yeni Hasnana (A1C1 09 079)
        Fifi Alfira (A1C1 08 065)
     Rasmin (A1C1 08 061)
     Sarman (A1C1 07 001)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011

C. MODEL PEMBELAJARAN
  Mills (1989:4) berpendapat bahwa model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses actual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak sesuai dengan model itu. Hal itu merupakan interpretasi atas hasil observasi dan pengukurab yang diperoleh dari beberapa system.
  Model pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam penyusunan kurikulum, mengatur materi peserta didik dan member petunjuk kepada pengajar dikelas  dalam seting pengajaran atau seting lainnya.
Pengertian model pembelajaran merupakan l;andasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori  psikologi pendidikan dan belajar yang dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional didepan kelas.
Memilih suatu model pembelajaran, harus disesuaikan dengan realitas yang ada dan situasi kelas yang ada serta pandangan hidup yang akan dihasilkan dari proses kerja sama yang dilakukan antara guru dan peserta didik.

On 18.54 by rief_blogspot   No comments

Tugasss...tugasss....





             Sistem pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini sering menjadi perdebatan dalam masyarakat. Mulai dari peningkatan standar kelulusan yang mengakibatkan banyaknya siswa yang tidak lulus, kurikulum yang terus berganti sampai pada sumber daya manusia yang banyak menganggur. Hal ini membuat sistem pendidikan Indonesia perlu dikaji ulang. Mengapa siswa banyak yang tidak lulus merupakan siswa-siswa yang berprestasi sedangkan saat ini banyak lulusan-lulusan sekolah yang tidak mampu menerapkan apa yang mereka pelajari. Belum lagi terlalu seringnya pergantian kurikulum membuat guru dan siswa kebingungan untuk menentukan sistem pa yang cocok untuk diterapkan.
Salah satu bentuk sistem pendidikan saat ini mulai berkembang di Indonesia adalah pendidikan sekolah alam. Sistem pendidikan sekolah ini berbeda dari sekolah formal umumnya. Kurikulum yang diterapkan di sekolah ini disusun oleh staff pengajar agar sesuai dengan kemampuan siswanya. Sistem pendidikan di sekolah ini memadukan teori dan penerapannya.

Pembelajaran di Sekolah Alam Jakarta menggunakan model lama spider web, tidak per Bab mata pelajaran. Dengan model ini, siswa mampu mengaitkan pelajaran dengan nyata, juga dapat mengaitkan hubungan antar pelajaran yang mereka terima. Di Sekolah Alam Jakarta tidak hanya siswa yang belajar, guru pun belajar dari murid, bahwa orang tua jug belajar dari guru dan siswa. Anak-anak tidak hanya belajar di kelas, tetapi mereka belajar dari mana saja dan dari siapa saja. Selain belajar dari buku, anak-anak juga belajar dari alam sekelilingnya. Anak-anak bukan belajar untuk mengejar nilai, tetapi untuk bisa memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari.
Suatu tema ditegaskan dalam semua mata pelajaran. Dengan demikian pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran bersifat integratif, Komprehensif dan aplikatif sekaligus juga memahami kemampuan dasar yang ingin ditumbuhkan kepada nak-anak Sekolah Alam Jakarta adalah kemampuan membangun jiwa keingintahuan, melakukan observasi, membuat hipotesa, serta kemampuan berfikir ilmiah. Dengan metode spider web mereka belajar tidak hanya dengan mendengar penjelasan guru, tetapi juga dengan melihat, menyentuh, merasakan, dan mengikuti keseluruhan proses dari setiap pembelajaran. Di sini anak juga diarahkan untuk memahami potensi dasarnya sendiri. Setiap anak dihargai kelebihannya, dan dipahami kekurangannya. Dengan begitu, di Sekolah Alam Jakarta, berbeda dengan pendapat guru bukanlah hal yang tabu.

Komponen Utama
1. Guru Berkualitas
Tenaga pengajar sekolah alam merupakan lulusan PTN yang diharapkan memiliki wawasan pendidikan dan wawasan lingkungan. Beberapa kriteria mendasar lain seperti memiliki akhlaq yang baik, cinta anak-anak. Kreatif dan inovatif, mempunyai kompetensi dalam bahasa dan dapat menjadi fasilitator yang baik.
2. Metodologi yang tepat
Dengan mengacu kepada pencapaian logika berfikir dengan baik, metode yang diterapkan adalah action learning. Hal ini dikembangkan melalui ceramah dan diskusi, pemecahan masalah terstruktur, adanya studi kasus dan presentasi.
3. Buku-buku bermutu sebagai resources
Bukan sumber untuk mendukung metodologi action learning di atas, perlu disiapkan dengan pengadaan perpustakaan yang baik dan buku-buku dari berbagai sumber

Kurikulum
1. Integritas akhlaq
Dicapai dengan keteladanan; keteladanan guru, orang tua, serta semua komponen Sekolah Alam
2. Integritas logika
Dicapai dengan model pembelajaran action learning, anak-anak belajar langsung dari alam. Alam menjadi laboratorium bagi mereka
3. Kepemimpinan
Dicapai dengan metode outbound dan Group
Dalam pencapaian penjelasan. 70 % kegiatan pembelajaran di Sekolah Alam Jakarta merupakan outdoor activity dan 30 % lainnya adalah indoor activity. Meteri pembelajaran disampaikan secara active dan fun.

Kegiatan Penunjang Pembelajaran
1. Outbound
Salah satu kegiatan outdoor di Sekolah Alam ini rutin diberikan untuk semua siswa. Outbound bertujuan untuk pembentukan sikap kepemimpinan siswa (kepercayaan diri, kerja sama tim, dan lain-lain)
2. Kebun dan ternak
Kegiatan kebun dan ternak dilakukan oleh semua siswa. Adapun jenis kegiatannya ditentukan sesuai sesuai dengan kelas siswa. Selain belajar mencintai lingkungan, kegiatan ini juga dapat dijadikan sebagai media pembelajaran untuk materi pelajaran lain secara terpadu
3. Market day
Kegiatan ini merupakan ajang setiap sekolah untuk berjualan di Sekolah Alam. Setiap siswa akan terlibat mulai dari perencanaan, promosi hingga penjualan produk mereka. Hal ini membutuhkan kerjasama antara siswa masing-masing kelas. Pada saat market daya, orang tua siswa dan masyarakat di undang untuk secara langsung melihat dan membeli dagangan siswa sekolah alam
4. Outing
Kegiatan ini merupakan kegiatan untuk memperdalam pembelajaran yang disampaikan di sekolah. Kegiatan ini dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat yang sesuai dengan tema pembelajaran siswa saat itu
5. Muhadhoroh dan audiensi
Muhadhoroh merupakan pertemuan pekanan siswa yang bertujuan menjalin keakraban antar siswa. Di dalam kegiatan muhadhoroh terdapat audiensi siswa, yaitu satu pertunjukkan dari setiap kelas seperti drama, ensamble, puisi dan melatih apresiasi siswa terhadap hasil karya temannya
6. Ramadhan camp dan I’tikaf
Ramadhan camp merupakan kegiatan yang bernuansa Ramadhan. Salah satu bentuk kegiatannya adalah buka puasa bersama. Siswa mulai kelas 3 melanjutkan acar berbuka puasa dengan menginap di sekolah. Bersama-sama mereka melakukan sholat tarawih, tilawah Qur’an, kajian Islam, qiyamul lail dan sahur. Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, siswa mulai kelas 4 dikenakan dengan kegiatan I’tikaf kegiatan menginap diadakan selama dua hari semalam
7. OTFA (out tracking fun adventure)
Kegiatan merupakan evaluasi akhir dari keseluruhan kegiatan outbound bagi siswa SD. OTVA bisanya dilakukan diluar sekolah selama dua hari di akhir tahun ajaran. Bentuk kegiatannya berupa camping, outbound, dan tracking
8. Renang
Kegiatan diikuti oleh seluruh siswa satu bulan sekali secara bergiliran tiap kelasnya

Dalam keseharian kita sama sekali tidak akan menemukan proses belajar dalam artian “formal” dan konvensional. Tidak ada bangku dan meja layaknya sebuah kelas, karena anak-anak dapat belajar dengan duduk bersila atau bahkan selonjoran di mana saja di lantai saung mereka. Anak-anak memang dibebaskan untuk tidak berseragam.
Keunikan lain yang bisa langsung terlihat saat memasuki kawasan sekolah adalah tidak adanya murid yang mengenakan pakaian seragam. Ada pula OTFA (out tracking fun adventure) dan outing, yakni kegiatan luar sekolah favorit mereka, lebih dari sekedar darma wisata atau rekreasi, dua kegian ini mengenalkan dan mendekatkan anak-anak pada proses dan bukan terpaku pada hasil.

Prinsip Belajar Carl Rogers
Rogers menganjurkan pendekatan pendidikan sebaiknya mencoba membuat belajar dan mengajar lebih manusiawi, lebih personal dan berarti.
1. Keinginan untuk belajar
Keinginan ini dapat mudah dilihat dengan memperhatikan keingintahuan yang sangat dan seorang anak ketika dia menjelajahi (mengeksplor) lingkungannya. Keingintahuan anak yang sudah melekat atau sudah menjadi sifatnya untuk belajar adalah asumsi dasar yang penting untuk pendidikan humanistic. Anak diberikan kebebasan untuk memuaskan keingintahuan mereka tanpa dihalangi serta menemukan sesuatu yang penting dan berarti tentang mereka.
2. Belajar secara signifikan
Belajar secara signifikan terjadi ketika belajar dirasakan relevan terhadap kebutuhan dan tujuan siswa. Jika siswa belajar dengan baik dan cepat, humanis menganggap ini adalah belajar secara signifikan. Belajr mempunyai tujuan dan kenyataannya dimotivasi oleh kebutuhan untuk tahu.
3. Belajar tanpa ancaman
Belajar yang paling baik adalah memperoleh dan menguasai suatu lingkungan yang bebas dari ancaman. Bahkan membuat kesalahan tanpa mengalami sakit hati karena kritik dan celaan.
4. Belajar atas inisiatif sendiri
Belajar akan paling signifikan dan meresap ketika belajar itu atas inisiatif nya sendiri dan ketika belajar melibatkan perasaan dan pikiran itu sendiri. Belajar atas inisiatif sendiri melibatkan semua aspek seseorang, kognitif, efektif. Siswa akan merasa dirinya lebih terlibat dalam belajar, lebih menyukai prestasi dan paling penting lebih dimotivasi untuk belajar.
5. Belajar dan berubah
Belajar yang paling bermanfaat adalah belajar tentang proses belajar. Pengetahuan berada dalam keadaan yang terus berubah secara konstan, apa yang dibutuhkan seseorang adalah individu yang mampu belajar dalam lingkungan yang mampu berubah.

a. Menurut Teori Carl Rogers
Dalam keseharian di sekolah alam sama sekali tidak ditemukan proses belajar dalam artian “formal” dan konvensional. Dalam sekolah alam rasa keingintahuan anak dapat tersalurkan. Apapun yang mereka inginkan dapat mereka temukan di sekolah alam. Anak diberikan kebebasan untuk memuaskan keingintahuan mereka tanpa dihalangi oleh ruang kelas, pakaian, peraturan sekolah yang “mematikan” daya kreativitas maupun guru yang terlalu mengatur sehingga mereka dapat menemukan sesuatu yang penting dan berarti tentang mereka dan dunia yang mengelilingi